Jumlah yang udah baca blog ini

Sabtu, 25 Juni 2016

Family Trip ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Malaka (Part 3)

Di hari ketiga perjalanan , kami berencana menghabiskan waktu berkeliling di Jonker Street untuk mencari oleh-oleh, jalan-jalan ke Baba and Nyonya Keritage Museum, St. Paul Hill, benteng A' Famosa, serta berjalan di sekitaran Sungai Malaka dan Dutch Square (yang tercoret berakhir menjadi hanya sekedar wacana. hahaha).  Pada akhirnya dari sekian banyak rencana, tidak semuanya terealisasi karena kami harus segera bergegas check out dari guesthouse di siang hari untuk melanjutkan perjalanan ke Singapura dengan perjalanan darat.

Me and mom at Dutch Square
Taman cantik di Dutch Square
Gereja Merah di Dutch Square

Dutch Square

Kincir angin selalu menjadi khas Belanda,
termasuk di Dutch Square

Masih di Dutch Square






Benteng A Famosa


Malaka River Cruise


Andai sungai di Indonesia sebersih ini

Sarapan di Restoran ramen di Jonker Street 
Karena terlalu lama berjalan-jalan, kami pun kehabisan waktu untuk mengejar jadwal bis dari Malaka ke Singapura. Kebetulan tiket bis sudah kami beli secara online sehingga kami tidak bisa menukar dengan jadwal yang lain. Oleh karena itu, kami yang awalnya berniat naik Panorama Bus Malaka 17 dari Dutch Square ke Malaka Sentral akhirnya terpaksa memesan taksi untuk mempercepat perjalanan kami menuju terminal.

***

Dari terminal Malaka Sentral kami menaiki Bus 707 Inc dengan tujuan Singapura (Queen Street Singapore). Bis ini merupakan bis 2 lantai, dimana lantai bawah dialokasikan untuk bagasi penumpang sedangkan lantai atas digunakan sebagai tempat duduk penumpang. Ini adalah pengalaman pertama kami (rupanya) melewati perbatasan negara melalui jalan darat. Awalnya saya pikir kakak saya sudah pernah memiliki pengalaman melalui imigrasi melalui jalan darat, ternyata kami semua sama sekali belum berpengalaman dan inilah yang akan menjadi "keseruan" berikutnya.

Perjalanan Malaka-Singapura memakan waktu kurang lebih 3 jam. Setelah sempat tertidur-bangun-tertidur-dan bangun lagi, akhirnya tibalah kami di perbatasan Malaysia-Singapura. Disini jalanan nampak seperti jalan tol, sedikit macet, nampak kendaraan dimana-mana, dan di ujung nampak seperti jembatan untuk menyeberangi laut (yang ternyata selat). 



Setelah menyeberangi jembatan, supir bis dengan logat english-chinese nya meminta kami untuk menyiapkan paspor karena akan melewati imigrasi. Dudulnya saya, saya membayangkan sedang menaiki bis tour travel dimana tour leader meminta kami menyiapkan paspor hanya untuk dikumpulkan untuk suatu hal dan saya tinggal duduk manis. Dan tiba-tiba saya lupa bahwa kami akan melewati perbatasan sebuah negara dimana kami sedang melaluinya lewat jalan darat (dimana biasanya kami melalui jalur udara dan menjalani pengecekan imigrasi di bandara).

Tidak berapa lama bis berhenti dan tiba-tiba semua penumpang pada turun. Hanya kami yang tidak turun, sambil bertanya-tanya, kenapa hampir semua penumpang turun. Tiba-tiba si supir marah-marah karena kami tidak segera turun sambil mengomel dan menyebut bahwa kami pasti orang Indonesia. Katanya orang Indonesia selalu bikin masalah. Duh. Ternyata tempat bis berhenti adalah pemberhentian sementara dan banyak bis yang mengantri setelahnya. Setelah kami turun, bis kami pun berlalu pergi, entah kemana. Kami pun hanya melongo, terus nanti kita ketemu dimana ?

Oh iya, ada kejadian tidak mengenakkan juga sebelum sampai di imigrasi (kalau tidak salah di bis, eh, atau masih di terminal Malaka Sentral ya). Si supir sempat menanyai kami apakah kami sudah mengambil kartu imigrasi. Lha, meneketehe ngambil kartu imigrasi dimana. Ternyata seharusnya ketika kami menukarkan bookingan online dengan tiket bis waktu di counter terminal, sekalian kami mengambil kartu imigrasi untuk memasuki Singapura. Maklum kami biasanya mendapatkan kartu imigrasi dari pramugari-pramugari cantik di atas pesawat. Kami pikir begitupula halnya di bis. Setelah ngomel-ngomel, akhirnya si supir memberikan kartu imigrasi yang dia bawa. Lha wong sebenarnya si supir punya kartunya, tapi pake ngomel-ngomel dulu baru ngasih. Duh, nasib dapat supir seperti ini. 

Kami melihat beberapa orang dari banyak bis yang berhenti bergegas ke arah yang sama. Kami pun mengikuti mereka. Rupanya mereka menuju sebuah bangunan yang merupakan imigrasi. Ketika akan menuju eskalator, si adik sempat tertinggal di belakang karena barang bawaan yang terjatuh sehingga kami berlima saling tunggu-tungguan di tengah arus manusia yang bergegas. Dan rupanya tingkah kami yang saling menunggu, tolah-toleh, serta ditambah wajah adik saya yang semi-semi India +Arab membuat petugas tiba-tiba mencurigai kami. Hahaha. Kami berlima dibawa ke tempat lain sehingga kami tidak mengikuti arus orang-orang lainnya yang menaiki eskalator. Kami diminta melewati X-Ray khusus satu per satu dan melewati pintu yang menyemprotkan suatu cairan. Entah apa yang mereka curigai pada kami. Akhirnya kami pun bebas dari pengecekan itu dan segera bergegas ke bagian imigrasi. 

Selesai dari imigrasi kami pun bergegas turun. Ternyata dekat tangga turun berjajar bis-bis semacam parkir di basement dengan pilar-pilar penanda. Ya ampun, terus bis kita dimana ? Kami pun menelusuri beberapa jalur untuk menemukan bis kami. Dan akhirnya ketemu !! Ditambah bonus muka masam supir bis karena tinggal kami yang belum naik ke bis. Ah, orang Indonesia....

***

Akhirnya kami pun tiba di Queen Street Singapura sebagai pemberhentian terakhir. Kami pun menaiki bis menuju penginapan kami yang terletak di Towner Road.

Oh iya, malamnya sebenarnya kami memiliki rencana untuk jalan-jalan ke Orchard Road bersama-sama, tetapi rencana kami gagal karena terjadi suatu musibah. Ternyata beberapa menit setelah pengecekan imigrasi dan kami telah menaiki bis, adik saya tersadar bahwa handphonenya hilang. Nampaknya handphonenya tertinggal sewaktu memasuki pintu x-ray dan lupa diambil kembali.

Akhirnya setelah sampai di penginapan, adik dan kakak ipar memutuskan untuk kembali ke imigrasi, sedangkan saya, kakak, dan ibu tetap melanjutkan rencana semula untuk jalan-jalan ke Orchard Road. Kami pun janjian di suatu tempat apabila urusan di imigrasi telah selesai. Sayangnya hape yang dicari sudah raib dan tidak bisa diketemukan. 







Rabu, 15 Juni 2016

Family Trip ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Malaka (Part 2)

Stesen Dang Wangi
Di hari kedua kami di Kuala Lumpur, kami mengunjungi Petronas Tower. Belum afdhol rasanya kalau ke Kuala Lumpur belum menjejakkan kaki disini plus selpi-selpian bareng Twin Tower ini. Hahaha. Untuk menuju kesana kami naik LRT Kelana Jaya Line dari KL Sentral dan turun di Stesen Dang Wangi kemudian berjalan kaki ke Suria KLCC. 


Edisi Imlek
Akhirnyaaa, saya menjejakkan kaki juga disini. Hahaha. Ndeso. Tetapi ternyata lumayan ramai juga di halaman Suria KLCC (Petronas Tower) dengan para pengunjung, baik yang sekedar jalan-jalan atau memang mau foto-fotoan. Ternyata tidak cuma saya yang ndeso. Hahaha. Di area dalam Suria KLCC ternyata terdapat area taman dan kolam yang memiliki air mancur. Tidak lupa saya berfoto-foto disini.



Pie Apel-nya Mc D Malaysia yang katanya adik enaak banget -_-"
Oh iya, di hari sebelumnya kami sempat mampir ke Mc D di KL Sentral, kemudian si adik memberitahukan kami bahwa Mc D di Malaysia memiliki menu yang tidak ada di Mc D Indonesia, yaitu pie apple. Katanya sih pie apple-nya lumayan enak. Pie Apple yang tidak sempat dimakan semalam akhirnya dibawa kemari juga dan saya ikut cicip-cicip. Hahaha. Ya, lumayan sih rasanya, cuma mungkin memang rasanya jauh lebih nikmat dalam keadaan panas ketika kulit pie nya semakin terasa crispy nya.




Kakak, ibu, dan saya

Abaikan cara saya memegang kamera. Hahaha...

***

Ruang tunggu terminal yang bersih dan teratur
Selesai dari Petronas Tower kami segera check out dari hotel untuk melanjutkan perjalanan ke Malaka. Dari KL Sentral kami menuju Stesen Bandar Tasik Selatan dengan menaiki KTM Komuter Rawang-Seremban. Dari Stesen Bandar Tasik Selatan kami berjalan kaki ke gedung Terminal Bersepadu Selatan melalui jembatan penghubung lobi utama terminal bus.
Selanjutnya kami menukarkan tiket yang telah dibeli online dengan bus Transnasional untuk menuju Malaka.

Bahkan ada layar monitor yang menunjukkan
status keberangkatan seperti di bandara
Terminal Bersepadu Selatan tampak tidak seperti terminal bis pada umumnya di Indonesia. Jumlah tempat duduk untuk menunggu lumayan banyak, terminalnya bersih, dan memiliki beberapa gate untuk menaiki bis. Beberapa gate itu layaknya sebuah bandara yang memisahkan pintu masuk ke dalam bis yang berbeda, sehingga calon penumpang tinggal duduk manis di ruang tunggu sampai dipanggil ketika bis yang akan kita tumpangi siap dinaiki. 


 ***

Bus Transnasional yang kami naiki berhenti di terminal bus Malaka Sentral. Disini kami harus berganti bus Panorama Melaka No. 17 untuk menuju Stadthuys/Dutch Square. Disini rupanya kami harus menunggu bus lumayan lama dan terminal bus Malaka Sentral rupanya tidak senyaman dan sebersih di Terminal Bersepadu Selatan. Bahkan untuk menaiki bus Panorama Melaka pun kami harus setengah berdesakan dengan orang-orang yang sudah berdiri menunggu sedari tadi. Ya ampun, ternyata segini banyak orang yang plesir ke Malaka.....


Dutch Square
Ternyata perjalanan kami dari terminal Malaka Sentral ke Dutch Square tidak berjalan mulus. Di jalan menuju Dutch Square terjadi kemacetan parah. Beberapa orang malah rela turun di jalan dan melanjutkan dengan berjalan kaki karena saking macetnya. Alhamdulillah kami masih termasuk orang-orang yang sabar, tetap duduk manis di dalam bis. Hehehe. 

Jonker walk tidak jauh dari Dutch Square
Jalan kaki menuju penginapan
Layang-layang Guest house tampak depan
Ternyata kawasan wisata Malaka berada di seputaran Dutch Square. Tempat wisata yang dapat dikunjungi disini adalah Dutch Square, Jonker Street, dan sungai Malaka. Di gang-gang kecil seputaran Dutch Square atau dekat Jonker Street banyak terdapat guest house dengan bangunan-bangunan kuno yang masih menjaga keaslian bangunannya. Kebetulan kami akan menginap di Layang-layang Guesthouse. Kami pun berjalan kaki dari Dutch Square menuju penginapan.

Lobby Layang-layang Guesthouse
Hiasan di lobby penginapan
Layang-layang guesthouse ternyata memiliki bangunan etnik peninggalan jaman kuno. Banyak bagian bangunan yang masih mempertahankan kondisi awal yang vintage banget. Bahkan dindingnya juga dibiarkan bermotif timbul batu bata dan hanya dicat putih saja tanpa diratakan dengan semen. Meskipun terkesan sedang menginap di sebuah rumah kuno, namun beberapa fasilitas menyesuaikan dengan kondisi masa kini, seperti tersedianya AC, mesin cuci yang disewakan, air panas di kamar mandi, serta fasilitas lainnya. Di lobby hotel kita juga dapat melihat beberapa hiasan bertema vintage. Wifi gratis juga tersedia di guesthouse ini, namun sayangnya area wifinya terbatas di lobby saja.



Wastafel dekat kamar mandi

Bagian dalam guesthouse
***

Becak warna-warni
Setelah check in, kami jalan-jalan sebentar di seputaran Dutch Square yang tadi sudah sempat kami lihat ketika baru sampai di tempat ini, Ternyata kalau malam di sekitar Dutch Square terdapat becak-becak dengan lampu warna-warni ala odong-odong yang dapat disewa untuk mengelilingi kawasan tersebut. Becak-becak tersebut juga dilengkapi dengan lagu-lagu yang meramaikan suasana. Dan ada lagu yang bikin saya pingin ngakak ketika mendengarnya disini. Mau tahu lagu apa ? Lagunya Cita Citata yang "Sakitnya tuh Disini". Hadeeh...


Sungai Malaka

Habis makan nasi lemak kudu jalan 6 km untuk bakar lemaknya !!!
Perahu yang digunakan untuk Malaka River Cruise
Tidak jauh dari Dutch Square terdapat Sungai Malaka yang bersih sekali (coba bandingkan dengan sungai di Indonesia !). Disini terdapat perahu-perahu yang mengangkut beberapa orang untuk wisata mengelilingi Sungai Malaka disertai penjelasan dari tour guide selama River Cruise. Tiketnya dijual di ticket box tidak jauh dari sungai. Ketika kami ingin mengantri membeli tiket, antriannya sudah mengular luar biasa sepanjang hampir 10 meter ! Akhirnya kami mengurungkan menyusuri Sungai Malaka dengan perahu.

Tempat yang juga tidak boleh dilewatkan selama di Malaka adalah Jonker Street. Jonker Street atau Jonker Walk ini semacam pasar malam yang baru ramai setelah malam (yaiyalah). Terus terang saya lebih tertarik dengan pasar malam ini dibandingkan pasar malam di daerah pecinan di Petailing Street. Menyusuri Jonker Street semacam mengingatkan saya pada suasana Jogja. Disini terdapat berbagai pedagang jalanan, ada souvenir, lukisan, makanan, minuman, dan macam-macam seni kreatif lainnya. Cukup menghibur mata lah pokoknya. Di sepanjang jalan juga terdapat kios-kios souvenir dan oleh-oleh. Namun fokus saya adalah pada pedagang jalanan yang hanya akan ada malam hari saja, sedangkan kios-kios permanen masih bisa kami kunjungi besok pagi.

Jonker Street yang ramai

Pintu masuk ke taman kecil di dalam Jonker Street

Sebuah patung di dalam Taman Warisan Jonker Walk. Siapakah dia ? Pahlawan kah ?
I have no idea. 


Salah satu pedagang makanan di Jonker Street


Senin, 13 Juni 2016

Family Trip ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Malaka (Part 1)




Klang Valley Integrated Rail System
At Soekarno Hatta Airport
Ternyata menulis blog selain curhat itu tidak semudah yang saya kira. Hahaha. Di bulan ketiga pembuatan blog ini saya mulai malas menulis karena beberapa hal yang menyita waktu. Hadehh. Padahal saya memiliki target menulis beberapa perjalanan yang sifatnya #latepost. Banyak perjalanan yang ingin saya tuliskan di blog ini. Namun, karena beberapa perjalanan sifatnya telah lama berlalu dan memory yang tersimpan hanya berupa foto, maka saya harus "menarik" kembali memory masa lalu dan merangkai puzzle memory yang masih tersimpan. Maklum saya orangnya pelupa. Tulisan sebelumnya tentang perjalanan ke Turki dan Korea terbantu dengan list itinerary yang masih tersimpan.


Ibu, adik, kakak, dan kakak ipar
Kali ini saya akan menceritakan tentang perjalanan saya ke Singapura, Kuala Lumpur, dan Malaka dalam liburan imlek tahun 2015. Dan, seperti saya ceritakan sebelumnya ketika melakukan perjalanan ke Korea Selatan, saya belum pernah melakukan perjalanan ke negara tetangga manapun sekalipun. Maklum, bagi seorang perantauan, cuti jauh lebih berharga dihabiskan untuk pulang kampung dibanding untuk dihabiskan melancong ke negara tetangga yang notabene tidak jauh berbeda dengan negara kita. Namun, di sisi lain, penasaran juga sih sama negara tetangga yang biasanya jadi batu loncatan first trip para traveller untuk memulai perjalanan luar negerinya. Hehehe.

Akhirnya pada long weekend liburan imlek di bulan Februari 2015 saya berkesempatan mengunjungi Singapura dan Malaysia bersama ibu, kakak, kakak ipar, dan adik saya. Kebetulan ini adalah liburan pertama kami setelah ayah meninggal di bulan September tahun sebelumnya. Semenjak ayah meninggal, ibu tinggal di rumah sendirian, sehingga kami ingin menghibur beliau dengan melakukan perjalanan bersama. Untuk kenyamanan kantong semua pihak, dikarenakan kami bayar sendiri-sendiri, maka dipilihlah destinasi yang masih dapat dijangkau bersama, yaitu: Singapura, Kuala Lumpur, dan Malaka. Kebetulan kakak dan ibu saya sudah pernah ke singapura dan kuala lumpur, sedangkan adik saya sudah pernah ke penang, malaka, dan kuala lumpur, dan saya belum pernah ke tiga tempat tersebut. Melas ya. Hahaha.

Satu pesawat dengan Pak SBY dan Bu Ani
dan orang-orang pada antri poto bareng.
Hal yang menarik adalah ketika kami berangkat kami menggunakan pesawat yang sama yaitu Garuda Indonesia, sedangkan pada saat pulang kami menggunakan pesawat yang berbeda, dimana ibu, kakak, dan kakak ipar menggunakan Garuda Indonesia, sedangkan saya dan adik menggunakan Jetstar. Awal cerita bermula dari kakak saya yang adalah karyawan Garuda Indonesia dan memang setiap tahun mendapatkan fasilitas tiket konsesi untuk suami, orangtua dan mertua. Karena tiket konsesi itulah, maka fluktuasi harga tiket yang tinggi di saat long weekend tidak berpengaruh signifikan pada "pengeluaran" kakak saya. Sedangkan saya dan adik yang menggunakan harga "rakyat biasa", rasa-rasanya ingin memegang erat dompet kami ketika melihat harga tiket berangkat yang sejuta lebih dan tiket pulang yang dua juta lebih. Hahaha. Akhirnya kami berdua memutuskan bahwa ketika berangkat kami menggunakan pesawat yang sama, sedangkan pulangnya kami berdua memilih Jetstar yang harganya masih sejutaan.

Rute perjalanan kali ini adalah Jakarta-Kuala Lumpur-Melaka-Singapura-Jakarta.

Perjalanan kami mulai dengan pesawat Garuda Indonesia GA 820 : CGK – KUL dan mendarat di KLIA 1 pada siang hari. Eh, ternyata kami satu pesawat dengan Pak SBY dan Bu Ani. Penumpang tampak heboh berfoto dengan beliau. Aura Pak SBY tetap terasa seperti seorang yang masih menjabat sebagai presiden. Salutt buat Pak SBY.

Turun dari bis dari KLIA
Metro Hotel KL Central
Setelah sampai di bandara KLIA 1, kami menuju stesen KL Sentral dengan menggunakan bus. Tiba di Stesen KL Sentral, kami jalan kaki menuju Metro Hotel KL Sentral. Pencarian hotel ini sebelumnya agak dramatis karena ternyata ada 2 cabang Metro Hotel di Kuala Lumpur, yaitu di KL Sentral dan di Bukit Bintang. Ketika pencarian pertama kami sempat nyasar ke hotel yang di Bukit Bintang, dan ternyata yang di booking kakak saya adalah yang di KL Sentral, maklum bookingnya lewat booking online. Hehehe.




Selesai check in dan ishoma, kami melanjutkan perjalanan ke Batu Caves menggunakan KTM Komuter Port Klang Line, kebetulan Batu Caves berada pada stasiun paling ujung. Oh iya, mengenai transportasi, Kuala Lumpur memiliki sistem transportasi terintegrasi yang dinamakan Klang Valley Integrated Rail System. Pada integrated rail system, terlihat beberapa operator transportasi berintegrasi, diantaranya adalah KLIA ekspres, Monorail, KTM Komuter, dll. Dengan mengunduh peta Klang Valley Integrated Rail System kita akan dapat mengetahui ketika menuju suatu tempat, moda transportasi mana yang akan kita gunakan dan di stasiun mana kita akan transit atau berganti moda transportasi. 

Batu Caves adalah sebuah tempat wisata yang merupakan tempat peribadatan umat Hindu dan masih berfungsi hingga sekarang. Khas dari tempat ini adalah patung dewa setinggi 42,7 meter dan ratusan anak tangga untuk menuju gua di atas. Batu Caves adalah kuil umat Hindu yang didedikasikan untuk Dewa Murugan.

Untuk mencapai kuil di dalam gua yang berdiri hampir 100 meter di atas tanah kita harus menaiki 272 anak tangga yang memiliki filosofi 272 langkah dengan posisi tangga yang cukup curam. Gua batu tebentuk dari batu kapur dan memiliki tiga gua utama dan beberapa yang lebih kecil. Yang terbesar disebut Gua Cathedral atau Gua Kuil dan akan kita capai setelah menaiki 272 anak tangga. Masuk lagi ke area dalam gua, terdapat beberapa anak tangga untuk mencapai Gua Galeri Seni atau Museum Gua yang penuh dengan patung Hindu. Selain itu, ketika masuk ke dasar gua, juga terdapat Gua Ramayana dan patung tinggi dari Hanoman dan sebuah kuil yang didedikasikan untuk Hanoman. Ketika masuk ke dalam gua, saya melihat beberapa orang mengunjungi kuil tersebut dan mendapat "pemberkatan" dari pemuka agama yang berada di dalam kuil.

Bagian dalam gua
Bagian terdalam gua yang memiliki celah diatas
Saat itu adalah sebuah pilihan yang sulit untuk memutuskan naik atau tidak ke Kuil Gua yang berada di atas. Melihat ratusan anak tangga curam di hadapan mata membuat sedikit ragu untuk naik, tapi daripada penasaran sama isi di dalam gua, akhirnya saya memutuskan untuk naik. Dikarenakan ibu tidak naik, maka kakak saya ikut menemani tinggal di bawah. Saya pun naik ke atas bersama adik dan kakak ipar. Setelah naik beberapa anak tangga, perjalanan masih terasa ringan, tetapi setelah setengah perjalanan, napas terasa mulai ngos-ngosan dan jantung berdegup kencang. Hahaha. Untunglah akhirnya kami sampai juga di puncak gua. Ternyata guanya adalah benar-benar seperti gua yang dijadikan kuil, sedangkan di bagian terdalam terdapat bagian gua yang atasnya lubang sehingga memungkinkan cahaya untuk masuk. Seperti gua-gua pada umumnya, gua ini juga terasa suram, terlebih dengan penambahan ritual-ritual di dalamnya dan bau dupa, saya justru merasakan aura-aura "you know what".

Patung Hanoman
Saya pikir menuruni anak tangga kuil ini menjadi lebih mudah dibanding menaikinya. Ternyata menuruni anak tangga yang curam juga memiliki kesulitan tersendiri. Dikarenakan curamnya anak tangga, secara tidak sadar kaki kita harus menahan beban tubuh lebih besar daripada menuruni anak tangga normal. Inilah yang membuat kaki gemetaran ketika sampai di bawah. 


Pedagang di halaman Batu Caves yang menjual bunga, makanan, serta peralatan sembahyang

Kuil di sisi lain Batu Caves

Patung Dewa Murugan

***

Jalan menuju Petailing Street
Setelah sholat maghrib di hotel, kami melanjutkan perjalanan ke Petailing Street. Kebetulan malam itu adalah malam imlek, sehingga kami mencari lokasi chinatown untuk merasakan nuansa malam imlek. Saat itu pilihan yang diberikan adik saya adalah Bukit Bintang dan Petailing Street, dan pilihan jatuh ke Petailing Street. Dari hotel kami menuju Stesen KL Sentral dan naik LRT Kelana Jaya Line ke Stesen Pasar Seni yang tidak jauh dari Petailing Street.


Bayangan saya ketika akan ke Petailing Street adalah kami akan menemukan atraksi khas imlek seperti barongsai dan semacamnya, tapi ternyata kami tidak menemukannya di tempat ini. Petailing Street di malam imlek hampir sama seperti malam-malam biasanya, dipenuhi oleh pedagang-pedagang kaki lima yang menjual bunga, baju, souvenir, tas-tas, serta barang-barang bermerk KW. Sebenarnya barang yang dijual menurut saya kurang menarik, karena barang-barangnya hampir sama seperti yang dijual oleh pedagang-pedagang Mangga Dua. Hehehe. Tapi cukuplah mengunjungi tempat ini untuk merasakan nuansa imlek dengan lampion-lampion di sepanjang jalan. Entah kenapa kami tidak mencoba jajanan apapun di sepanjang jalan ini, mungkin karena tidak menarik, sekaligus khawatir akan kehalalannya. Ternyata kami melewatkan minuman Air Mata Kucing yang katanya terkenal enak di daerah ini. Ya, mungkin lain waktu kita mampir ya. Hihihi.




Sepulang dari Petailing Street kami sempat mampir Seven Eleven untuk membeli Ice cream Nestle. Ada Ice cream Kitkat sama Ice cream Milo. Yummy.....