Jumlah yang udah baca blog ini

Senin, 16 Mei 2016

Business Trip ke Tana Toraja

Di tahun 2012 lalu saya melakukan perjalanan dinas ke Tana Toraja. Kebetulan saat itu saya sedang menangani nasabah yang memiliki project pemasangan fiber optic dengan sebaran wilayah kerja di seluruh Indonesia. Nasabah ini merupakan nasabah lama kantor kami dan untuk itu, on the spot project kali ini sekaligus dimanfaatkan nasabah untuk mengajak kami ke lokasi yang belum pernah kami datangi. Dari sekian tempat, terpilihlah lokasi project di Enrekang, Sulawesi Selatan. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari Tana Toraja yang fenomenal itu. Asyikk….

Untuk perjalanan kali ini kami akan melakukan penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta ke Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar kemudian dilanjutkan perjalanan darat sekitar kurang lebih 8 jam. Sebenarnya ada pilihan pesawat untuk mencapai lokasi, tapi menurut informasi pesawat hanya memiliki jadwal 3x seminggu. Dan rasanya bukan hal yang buruk mencoba menikmati perjalanan selama 8 jam tersebut. Errr, What ? 8 hours ?!?! Oh well, ketika perjalanan dinas sebelumnya ke Samarinda, saya mengalami awkward situation selama perjalanan udara dan darat dari Balikpapan ke Samarinda dengan babeh boss, belum lagi perjalanan pulangnya. Padahal total perjalanan berangkat hanya kurang lebih 5 jam. Nah ini, 8 jam perjalanan !!! Tolong baim ya Allah…. 

Untunglah perjalanan kali ini saya tidak hanya berdua dengan babeh boss, tetapi berempat dengan nasabah. Ya syukurlah awkward moment dapat teratasi dengan nasabah kami yang juga laki-laki ini. Hahaha. Awkward situation perjalanan dinas Samarinda terjadi karena lamanya perjalanan udara dan darat yang membuat saya dan babeh boss memiliki waktu “terlalu banyak” untuk mengobrol. Tidak mungkin kan dalam tempo selama itu kami hanya menceritakan tentang pekerjaan, maka sampailah pada moment-moment dimana kami terpaksa menceritakan cerita pribadi termasuk cinta pertama babeh boss. Menceritakan cerita cinta dengan babeh boss dan cuma berdua itu rasanya aneh banget. Hmmm…. awkward moment banget ya. Hahaha.

Tongkonan di area taman hotel
Kebetulan nasabah kami telah memesankan hotel di daerah Tana Toraja. Sesampainya di bandara Sultan Hasanuddin kami pun dijemput dengan mobil carteran yang akan memobilisasi kami hingga esok hari. Ternyata perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja bukanlah perjalanan yang mudah. Ada saatnya (entah di daerah mana) kami harus menempuh jalan berbukit naik turun dan berkelok-kelok. Sungguh kondisinya lebih parah dibandingkan melalui bukit Suharto di jalan antara Balikpapan-Samarinda. Entah karena supirnya yang sedikit ngebut atau memang karena jalannya, kami sempat hampir muntah sepanjang jalan. Akhirnya Pak Mario (nasabah kami) yang sudah tidak tahan karena mau muntah meminta bapak supir untuk bertukar tempat dengannya. Dan perjalanan kami menjadi lebih nyaman setelah disupiri oleh Pak Mario. Supirnya pun justru senang tinggal duduk santai di sebelah Pak Mario. Hahaha.

Dikarenakan perjalanan yang cukup lama, kami sampai di Tana Toraja malam-malam sekali. Kami menginap di hotel yang telah dipesankan Pak Mario, namanya Toraja Heritage Hotel. Agaknya hotel ini berkonsep boutique hotel. Hotel tersebut dibuat menyerupai bangunan khas Tana Toraja, dilengkapi beberapa tongkonan di area kolam renang dan area taman hotel. Begitupun dengan lobby hotel yang tidak jauh dari konsep budaya asli Tana Toraja dengan beberapa hiasan ukir-ukiran kayu, hingga kepala kerbau. Tana Toraja ini terletak di dataran tinggi, sehingga udaranya cenderung dingin terlebih di malam hari. Untuk itulah kamar-kamar di hotel ini tidak memiliki AC.  Kami pun segera beristirahat untuk menyiapkan tenaga menaiki bukit pada keesokan harinya. Ada untungnya juga punya bos laki-laki, karena saya tidak harus berbagi kamar dengannya. Hahahaha.


lobby hotel
lobby hotel

***

"Bagai kerbau dicocok hidungnya"
Tongkonan di Kete Kesu
Keesokan harinya kami bersiap menuju Enrekang (yang merupakan lokasi project) sekalian check out dari hotel. Pada saat sarapan pagi kami menemukan beberapa turis asing sedang sarapan juga. Duh, suasana pagi di Tana Toraja teduh sekali. Rasa-rasanya tempat ini cocok sekali untuk honeymoon. Sayang sekali saya datang kesini untuk urusan kerjaan. Hahaha. Berita gembiranya, kebetulan sekali tidak jauh dari hotel tempat kami menginap terdapat tempat wisata yang terkenal di Tana Toraja, yaitu Kete Kesu.  Akhirnya di dalam perjalanan menuju Enrekang, kami pun mampir sebentar ke Kete Kesu.



Tempat mayat disemayamkan sebelum dibawa ke gua

Kete Kesu adalah sebuah area upacara pemakaman termasuk area pemakaman khas Tana Toraja yang terletak di tebing-tebing di gunung batu atau gua alam. Ketika baru sampai, kami disuguhi pemandangan beberapa rumah tongkonan yang digunakan untuk upacara pemakaman. Konon upacara pemakaman disini akan menghabiskan banyak biaya yang hampir sama dengan upacara pernikahan. Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.


Dibelakang Tongkonan terdapat pemakaman tradisional yang ditempatkan di tebing-tebing. dan beberapa peti yag memuat satu keluarga. Peti-peti tersebut menggantung ditebing hanya ditahan dengan penyangga. Semakin tinggi posisi seseorang dalam kehidupan sosial, maka semakin tinggi dia ditempatkan. Sedangkan untuk warga biasa akan dimakamkan di dalam liang-liang gua.


Patene, tempat jenazah yang tidak ditaruh di tebing
Ada dua cara pemakaman di Kete Kesu, yaitu di gunung batu dan gua alam, atau makam rumah atau house grave atau dalam bahasa Toraja disebut patane. Hanya di Kete Kesu yang membangun dua macam patane. Patane dibuat dua macam, agar bisa mengakomodasi semua kepercayaan yang dianut masing-masing anggota keluarga. Mereka bisa menggunakannya, tanpa melanggar kepercayaan masing-masing demi memelihara kerukunan. Patane yang tidak menyatu ke tanah diperuntukan bagi umat Nasrani dan yang menyatu ke tanah untuk keluarga yang menganut agama Islam.

Peti mati yang berusia ratusan tahun yang memuat satu keluarga besar disebut erong. Bentuk erong laki-laki dan perempuan pun dibedakan. Erong berkepala babi dibuat sebagai penanda peti perempuan. Karena di Toraja, babi dipelihara oleh perempuan. Sedangkan, erong berkepala kerbau menujukan peti untuk laki-laki.

Sumber referensi:
  • https://id.wikipedia.org
  • https://andihardianti.wordpress.com

***

Sejauh mata memandang hanya ada bukit dan jalan 
Setelah mengunjungi Kete Kesu kami pun segera bergegas ke lokasi project. Lokasi project terletak di kabupaten Enrekang, yaitu di selatan kabupaten Tana Toraja dan semakin dekat ke arah Makassar. Project yang ingin kami lihat adalah lokasi yang sudah dipasangi fiber optik yang memanfaatkan jaringan PLN. Kebayang kan seberapa tingginya tower PLN. Dan tidak disangka lokasi yang dimaksud berada di puncak bukit yang tingginya ribuan kaki. 

Nasabah dan babeh boss "ngaso" alias istirahat dulu
Awalnya si nasabah ragu-ragu apakah saya perlu untuk ikut naik ke atas atau tidak. Mungkin kasihan karena saya perempuan, namun saya yakin saya bisa. Toh, sudah pakai sepatu kets juga. Tapi melihat tower di ujung atas sana ternyata sama seperti melihat bintang, nampak dekat di mata tapi jauh di kaki. Setelah mendaki sekian ratus meter, tower itu masih saja nampak jauh. dan semakin dekat kami ke puncak, medannya semakin terjal dan curam, bahkan tidak ada jalur untuk mendaki. Kebayang gimana rasanya jadi si tukang pasang kabel......



Mobil kami ada di ujung sanaa...dan gambar ini diambil di separuh ketinggian.
Kebayang kan seberapa tingginya kami mendaki
Di saat saya sedang semangat-semangatnya untuk terus mendaki setelah ketinggian ribuan kaki saya lewati (lebay :P), tiba-tiba nasabah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Memang terlihat bahwa medan semakin curam dan tidak bersahabat. Bahkan kami semakin tidak menemukan jalan untuk naik. Entah bagaimana caranya orang diujung sana untuk naik. Orang di ujung puncak juga menyarankan kami untuk tidak meneruskan perjalanan. 

Pe er terberat adalah menuruni bukit. Medan yang curam dan tidak ada pohon di sekitar, menyulitkan kami untuk turun dengan posisi berdiri. Jika kami tidak bisa menjaga keseimbangan badan kami, kami bisa menggelundung ke bawah dan wassalam. Bahkan di beberapa titik saya sempat membayangkan wajah orangtua saya. Duh, kalau jatuh disini bagaimana. Mungkin nasabah kami juga melihat risiko kami jatuh jika menuruni puncak bukit dengan cara konvensional. Dia pun menemukan cara lain untuk turun, yaitu merosot !!! Memang ini cara yang kurang elegan, duh, mana bokong jadi kotor semua, tapi apa daya, daripada tewas di Enrekang. Hahaha. Untung saja saya tidak pakai celana jeans.

Di medan yang tidak terlalu curam kami beristirahat. Kebetulan terdapat pohon kelapa yang berbuah di dekat kami beristirahat. Tidak jauh dari lokasi juga ada anak buah nasabah yang tadi ada di puncak bukit. Kami pun minta ditebangkan beberapa buah kelapa untuk kemudian kami minum. Hahaha. Berasa lagi piknik.

***

Dengan latar belakang Gunung Nona
Selesai dari bukit kami pun melanjutkan perjalanan menuju Makassar untuk beristirahat di hotel di Makassar dan berencana pulang keesokan harinya. Tetapi di dalam perjalanan pulang kami merasa lapar dan memutuskan untuk mampir di warung tepi jalan. Seperti rata-rata warung di jalanan provinsi, warung itu juga memiliki ukuran yang besar dengan perabotan sederhana. Ketika menunggu pemilik warung menyiapkan makanan untuk kami, kami pun berjalan-jalan ke halaman belakang. Ternyata kami mendapati belakang warung memiliki balkon yang cukup luas dengan hamparan pemandangan yang luar biasa indah. Kami pun ramai-ramai memindahkan meja dan kursi ke balkon belakang demi menikmati pemandangan yang luar biasa indah.

Candid camera HP babeh boss
Sesampainya di Makasar sudah cukup malam. Setelah sebelumnya kami nongkrong di pantai losari, kami pun bergegas menuju hotel untuk istirahat. Tadinya kami berniat jalan-jalan lagi di Makasar keesokan harinya. Namun ternyata tiba-tiba babeh boss mendapat instruksi meeting bersama direksi keesokan paginya. Terpaksa kami pun segera terbang ke jakarta pagi-pagi sekali dengan jadwal pesawat yang direschedule. See you again, Tana Toraja....

Rabu, 11 Mei 2016

Hope to see you again, Istanbul (Part 5-The End)

Di hari keempat atau hari terakhir di Istanbul ini kami akan makan-makan di Local Fish Restaurant, Tour Selat Bosphorus, dan kemudian bersiap terbang ke Madinah untuk melanjutkan perjalanan umroh di Mekah. 
Perjalanan pertama kami adalah makan siang di restaurant yang terletak di Pasar Ikan Istanbul (tentunya kami sudah breakfast di hotel dan menghabiskan waktu bebas hingga waktu keberangkatan yaa...). Di Pasar Ikan ini terdapat banyak sekali restauran seafood dan berjejer sepanjang area. Kami pun berhenti di sebuah restaurant bernama Kosem Kumkapi. Seperti layaknya pilihan menu seafood di Indonesia, kami pun makan beberapa menu seafood seperti ikan, udang, dan jenis lainnya. Sayangnya saya lupa, menu apa saja yang saya makan. Hihihi.


***

Sebuah masjid di tepi Selat Bosphorus
Selesai makan siang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Selat Bosphorus untuk menikmati Bosphorus Cruise alias tour menikmati Selat Bosphorus menggunakan kapal ferry. 

Seperti yang saya jelaskan pada postingan sebelumnya, Selat Bosphorus ini adalah selat yang memisahkan antara Turki Asia dan Turki Eropa serta menghubungkan Laut Marmara dengan Laut Hitam. Selat ini memiliki panjang 30 km, dengan lebar maksimum 3.700 meter pada bagian utara, dan minimum 750 meter antara Anadoluhisarı dan Rumelihisarı. Kedalamannya bervariasi antara 36 sampai 124 meter.

Terdapat dua jembatan yang  dapat digunakan untuk menyeberangi Selat Bosporus, yang pertama adalah Bosphorus Bridge dengan panjang 1.074 meter dan diselesaikan pada 1973 dan Jembatan Fatih Sultan Mehmet dengan panjang 1.090 meter yang diselesaikan pada 1988 dan terletak sekitar 5 km sebelah utara jembatan pertama.

Bosphorus Cruise ini adalah cara yang paling menyenangkan untuk menikmati Istanbul. Menikmati keindahan Istanbul Asia dan Istanbul Eropa di sisi sebelah kiri dan kanan dengan keindahan yang berbeda dan ditemani udara sepoi-sepoi musim semi (lebih nyaris ke dingin sih) ditambah langit yang cerah, akan membuat kita lantas menggumam "Maka nikmat Tuhan yang manakah yang engkau dustakan."

Rumah-rumah mewah
Ketika menyusuri Selat Bosphorus, kita akan dapat melihat beberapa bangunan bersejarah yang terlihat dari selat, diantaranya adalah Blue Mosque yang menjulang tinggi, Istana Dolmabahce, Istana Topkapi, Maiden Tower, Masjid Ortakoy, dan Benteng Rumeli Hisari. Bahkan kita juga dapat melihat rumah-rumah mewah di tepian selat serta kapal-kapal pesiar mewah yang sedang berlabuh.

Jika menonton sinetron Turki, Canzu dan Hazal, pasti kita memperhatikan rumah Canzu yang mewah itu di tepian Selat Bosphorus. Hanya orang super kaya saja yang bisa memiliki rumah di tepian Selat Bosphorus ini karena harganya bisa mencapai ratusan milyar rupiah. 

Kapal pesiar yang sedang berlabuh
Kapal pesiar yang sedang berlabuh
Untuk kapal pesiar yang terlihat berlabuh di Selat Bosphorus ini adalah kapal pesiar yang sedang berkeliling dunia dan singgah di beberapa kota. Biasanya kapal ini merapat di suatu kota selama beberapa hari lalu kemudian melanjutkan perjalanannya lagi mengelilingi dunia. Mantaapp....



Restaurant mahal diatas "pulau" buatan
Bendera Turki di puncak bukit
Jika memperhatikan secara detil di sepanjang Selat Bosphorus, terdapat banyak sekali bangunan, bahkan restaurant sekalipun yang mengibarkan bendera kebangsaan Turki. Menurut local guide kami, pemerintah Turki memang mewajibkan untuk mengibarkan bendera tersebut di beberapa tempat guna menumbuhkan rasa nasionalisme pada rakyatnya. 

Maiden Tower dari kejauhan
Meiden Tower atau yang memiliki nama lain Leander Menara atau Tower of Leandros berada di ujung selatan Selat Bosphorus. Pada zaman Bizantium dan jaman kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyah) menara ini sempat menjadi menara pemantau masuknya kapal-kapal ke perairan Turki. Kemudian sekitar tahun 1731 dan 1734 menara ini berubah fungsi menjadi menara mercusuar dan sempat menjadi stasiun karantina. Saat ini menara ini menjadi kafe dan restoran yang populer dan mahal. Jika menonton drama Turki yang berjudul Shehrazat, pada scene pembukanya selalu nampak gambar menara ini.


Jembatan Galata
Jembatan Galata adalah jembatan yang tidak boleh dilewatkan jika berkunjung ke Turki dengan cara backpaker. Jembatan yang menghubungkan old city dan modern city di Istanbul ini dibangun pada tahun 1836. Sampai dengan tahun 1980-an tempat ini masih terkenal sebagai tempat pembuangan limbah industri. Akan tetapi setelah dibersihkan, jembatan ini justru ramai dikunjungi wisatawan. Jembatan yang terletak pada Golden Horn ini bagian tengahnya sering dilalui kapal-kapal. Kemudian pada satu tingkat di bawah jembatan terdapat banyak kedai makanan atau restauran yang menyediakan seafood. Menyantap seafood dengan suguhan pemandangan yang indah, tentunya adalah hal yang tidak boleh dilewatkan jika memiliki waktu lebih untuk mengeksplore Istanbul. Kami pun melihat banyak orang memancing ikan di atas jembatan galata.





***

Setelah packing barang-barang, kami pun bersiap meninggalkan Istanbul untuk melanjutkan ibadah umroh. Dikarenakan waktu check in pesawat yang masih lama, kami pun mengunjungi mall dekat Bandara Attaturk yang bernama Marmara Forum. Terus terang mallnya sepiii sekali. Mungkin karena jauh dari pusat kota ya. 



Eh, ada jatomi. Sama nggak ya kayak jatomi fitness di kuningan city tempat kita pulang kantor ?
***

Ternyata kami sampai di bandara sekian jam lebih cepat. Hal ini untuk mengantisipasi kemacetan kota Istanbul yang konon hampir sama dengan jakarta. Dikarenakan kami pun belum mendapatkan boarding pass-nya, maka kami pun tidak tahu kapan jadwal keberangkatan pesawat kami. Akhirnya kami hanya duduk-duduk manis di ruang tunggu sampai dipanggil oleh pendamping tour kami, yaitu A'deda, adik dari Aa'gym.

Ternyata waktu menunggu lebih lama dari yang saya bayangkan. Kerongkongan pun mulai haus. Sayangnya saya tidak menemukan kran dengan air siap minum seperti di bandara changi. Sialnya juga, uang turki lira sengaja saya habiskan sebelum bertolak ke Madinah karena malas menyimpan uang asing atau menukarkan uang asing yang sudah tidak digunakan lagi.  

Saya pun menghabiskan waktu dengan berkeliling bandara sambil berpikir dengan kerongkongan yang haus. Alhasil dengan berat hati saya pun menggunakan kartu kredit saya untuk "pertama kalinya berbelanja" di merchant cafe bandara (sebelumnya saya hanya menggunakan untuk membeli tiket pesawat online). Saya pun hanya membeli 3 botol air mineral ukuran 500 ml (yang setelah dikonversi ke rupiah senilai Rp. 64.000). Sebenarnya saya sempat melirik turkish delight di duty free bandara dan tergoda lagi untuk berbelanja menggunakan kartu kredit. Tapi syukurlah saya masih kuat iman untuk tidak berbelanja lagi. Hahaha.





"HOPE TO SEE YOU BACK IN ISTANBUL SOON"............ INSHAALLAH....

Selasa, 10 Mei 2016

Hope to see you again, Istanbul (Part 4)

Di hari ketiga kami akan mengunjungi Istana Dolmabahce, menyeberangi selat Bosphorus lewat Bosphorus Bridge  dan mengunjungi Camlica Hill di Istanbul Asia.

Dinas Pertamanan sedang mengganti bunga-bunga di taman
***

Menuju Istana Dolamabahce 
atau Beylerbeyi Sarayi
Tujuan pertama kami adalah mengunjungi Istana Dolmabahce yang terletak di distrik Beşiktaş di pantai Selat Bosphorus, Istanbul Eropa. Konon istana ini adalah istana termegah di jamannya dan terinspirasi dari Istana Versailles di Prancis.



Istana Dolmabahce dibangun pada masa Kesultanan Abdul Mecid I, yang merupakan Sultan Ottoman ketiga puluh dan dibangun antara tahun 1843 dan 1856. Pembangunannya menghabiskan dana sekitar lima juta koin emas Ottoman Mecidiye atau setara dengan 35 ton emas. Wow. Menurut informasi dari local guidenya, istana inilah yang menjadi salah satu bukti penyebab runtuhnya kekhalifahan pada masa itu. Sama seperti sejarah yang berulang, dimana kehancuran suatu negeri dapat disebabkan oleh godaan "Harta, Tahta, dan Wanita". Jika kita menonton drama dari Turki di ANTV yang berjudul Abad Kejayaan, tentunya kita akan paham apa yang terjadi di masa itu dimana godaan "Harta, Tahta, dan Wanita" mengambil peranan penting pada hancurnya kekhalifahan yang dibangun susah payah oleh Muhammad Al Fatih setelah merebut Kostantinopel dari Bangsa Romawi. Kemegahan istana ini merupakan salah satu gambaran bahwa terjadi penghamburan harta yang berlebihan hanya untuk sebuah pembangunan istana yang membutuhkan hingga 35 ton emas.

Bosphorus Bridge dan Selat Bosphorus

My lovely mom


Kemegahan istana ini semakin tampak jelas ketika kita memasukinya. Untuk memasuki istana ini kita diwajibkan menggunakan sarung sepatu yang terbuat dari plastik kresek dengan tujuan agar karpet istana tidak kotor. Pengunjung juga tidak diperbolehkan untuk mengambil gambar selama berada di dalam istana. Istana ini memiliki luas 45.000 m2 (11,2 hektar) dan berisi 285 kamar, 46 aula, 6 tempat pemandian dan 68 toilet. Istana ini terdiri dari tiga bagian, yaitu Mabeyn Imperial (Ruang Kenegaraan), Muayede Salon (Hall Upacara) dan Imperial Harem. Mabeyn Imperial dialokasikan untuk urusan administrasi negara, Imperial Harem dialokasikan untuk kehidupan pribadi sultan dan keluarganya dan Muayede Salon yang terletak di antara Mabeyn Imperial & Imperial Harem, dialokasikan menyambut negarawan dalam beberapa acara kenegaraan penting. Semua material bangunan berasal dari bahan-bahan nomor wahid, termasuk keramik biru khas Turki yang menghiasi langit-langit dan tiang pondasi bangunan.


Terletak di tepian Selat Bosphorus, istana ini sangat cocok jika digunakan sebagai tempat peristirahatan musim panas. Mustafa Kemal Ataturk yang mendapat julukan "Bapak Turki Modern" menghabiskan hari-hari terakhir perawatan medis di Istana Dolmabahce. Ia meninggal pada 10 November 1938. Ruang perawatan medis ini kemudian dikenal sebagai Ruang Ataturk dan jarum jam yang terdapat di ruang Ataturk dibiarkan tetap menunjukkan angka 09.05 dimana merupakan menunjukkan waktu kematiannya.



Istana Dolmabahce dilihat dari Selat Bosphorus

***

Melewati Bosphorus Bridge
Kota Istanbul terletak di dua benua, yaitu benua Asia dan Eropa. Karena itulah wajah-wajah orang Turki pun tampan-tampan dan cantik-cantik, bagai sebuah percampuran antara darah Eropa dan darah Asia (khususnya arab). Terkait dengan kondisi geografis yang terdiri dari Istanbul Asia dan Istanbul Eropa dan dipisahkan oleh Selat Bosphorus, menariknya adalah hal ini juga mempengaruhi perbedaan laju pertumbuhan ekonomi di Istanbul Asia dan Istanbul Eropa. Hal ini nampak jelas ketika kami mengunjungi selat Bosphorus dimana rumah-rumah mewah tampak lebih banyak di Istanbul Eropa. Sedangkan Istanbul Asia memiliki laju perekonomian yang lebih rendah. Begitupun harga tanah di keduanya, sungguh berbeda jauh. Mungkin hal ini juga disebabkan sebagian besar pusat kebudayaan dan perekonomian berada pada Istanbul Eropa. Bahkan Istanbul Eropa pun lebih tinggi pamornya sebagai tempat kunjungan wisata dibandingkan Ankara yang justru merupakan ibukota dari Turki.

Selat Bosphorus dilihat dari atas jembatan
Setelah mengunjungi Istana Dolmabahce kami menyeberangi Bosphorus Bridge untuk mencapai Istanbul yang berada pada benua Asia. Di Istanbul Asia ini kami dapat mengunjungi bukit yang bernama Camlica Hill. Camlica Hill terletak di distrik Uskudar, Istanbul dengan ketinggian 268 meter (879 ft) di atas permukaan laut.

Taman di Bukit Camlica.
Sumber Foto: Wikipedia







Camlica Hill menyajikan pemandangan yang indah, yaitu bagian selatan selat Bosphorus beserta Bosphorus Bridge dan Golden Horn. Di atas bukit terdapat kafe-kafe dan taman-taman bunga. Sebuah menara televisi dan menara pemancar radio juga berada di puncak bukit. Menurut local guide kami, banyak calon pasangan yang memanfaatkan lokasi ini sebagai tempat foto prawedding karena pemandangannya yang indah. Bahkan saat kami sampai ke lokasi ini, terdapat sepasang calon pengantin menggunakan pakaian pengantin sedang mengambil gambar.


Dikarenakan ibu dan almarhum bapak agak malas untuk turun dari bis dan naik ke atas bukit, maka saya sedikit kurang bersemangat mengeksplore bukit ini. Duh, padahal tempatnya oke banget buat selpi-selpian. Huhuhu.....

Menuju puncak bukit terdapat beberapa penjual makanan ringan seperti jagung bakar, Es krim Turki dan Es krim Wall's !!! Eh, tunggu.... Logonya sih nampak seperti Wall's tapi merk yang tertulis adalah "Paylas". Asumsi sementara sih merk ini digunakan untuk menyesuaikan dengan lidah penduduk setempat yang mungkin kesulitan mengucapkan kata-kata "Wall's".

Paylas
Sambil menunggu peserta lainnya yang naik ke puncak bukit, saya pun membeli Es Krim Turki. Es krim Turki ini memiliki khas tersendiri, salah satunya adalah bahan pembuatannya yang berasal dari bunga anggrek, susu, gula, dan getah pohon mastic. Getah pohon mastic inilah yang membuat tekstur es krim Turki menjadi kenyal, elastis, dan tidak mudah meleleh. Tekstur yang elastis dan tidak mudah leleh inilah yang membuat si penjual selalu menampilkan atraksinya sebelum benar-benar memberikan es krimnya pada si pembeli. Atraksi khasnya adalah dengan seolah-olah akan memberikan es tersebut kepada pembeli, tetapi kemudian ternyata pemberian es tersebut hanya tipuan. Adegan ini dilakukan berulang kali sampai pembeli terkecoh dan tertawa. Awalnya sih tertawa, tapi lama-lama KEZEL juga dikerjain sampai rasanya pingin bilang, "Hey, please stop your attraction, give me my ice creaaam !!!" Hahaha. Eh, gak sampai gitu juga sih. Ternyata atraksi pengecoh si tukang es krim Turki ini berlaku dimana-mana, termasuk di counter es krim Turki di Indonesia sekali pun.