Jumlah yang udah baca blog ini

Senin, 16 Mei 2016

Business Trip ke Tana Toraja

Di tahun 2012 lalu saya melakukan perjalanan dinas ke Tana Toraja. Kebetulan saat itu saya sedang menangani nasabah yang memiliki project pemasangan fiber optic dengan sebaran wilayah kerja di seluruh Indonesia. Nasabah ini merupakan nasabah lama kantor kami dan untuk itu, on the spot project kali ini sekaligus dimanfaatkan nasabah untuk mengajak kami ke lokasi yang belum pernah kami datangi. Dari sekian tempat, terpilihlah lokasi project di Enrekang, Sulawesi Selatan. Kebetulan lokasinya tidak jauh dari Tana Toraja yang fenomenal itu. Asyikk….

Untuk perjalanan kali ini kami akan melakukan penerbangan dari Bandara Soekarno Hatta ke Bandara Sultan Hasanuddin di Makassar kemudian dilanjutkan perjalanan darat sekitar kurang lebih 8 jam. Sebenarnya ada pilihan pesawat untuk mencapai lokasi, tapi menurut informasi pesawat hanya memiliki jadwal 3x seminggu. Dan rasanya bukan hal yang buruk mencoba menikmati perjalanan selama 8 jam tersebut. Errr, What ? 8 hours ?!?! Oh well, ketika perjalanan dinas sebelumnya ke Samarinda, saya mengalami awkward situation selama perjalanan udara dan darat dari Balikpapan ke Samarinda dengan babeh boss, belum lagi perjalanan pulangnya. Padahal total perjalanan berangkat hanya kurang lebih 5 jam. Nah ini, 8 jam perjalanan !!! Tolong baim ya Allah…. 

Untunglah perjalanan kali ini saya tidak hanya berdua dengan babeh boss, tetapi berempat dengan nasabah. Ya syukurlah awkward moment dapat teratasi dengan nasabah kami yang juga laki-laki ini. Hahaha. Awkward situation perjalanan dinas Samarinda terjadi karena lamanya perjalanan udara dan darat yang membuat saya dan babeh boss memiliki waktu “terlalu banyak” untuk mengobrol. Tidak mungkin kan dalam tempo selama itu kami hanya menceritakan tentang pekerjaan, maka sampailah pada moment-moment dimana kami terpaksa menceritakan cerita pribadi termasuk cinta pertama babeh boss. Menceritakan cerita cinta dengan babeh boss dan cuma berdua itu rasanya aneh banget. Hmmm…. awkward moment banget ya. Hahaha.

Tongkonan di area taman hotel
Kebetulan nasabah kami telah memesankan hotel di daerah Tana Toraja. Sesampainya di bandara Sultan Hasanuddin kami pun dijemput dengan mobil carteran yang akan memobilisasi kami hingga esok hari. Ternyata perjalanan dari Makassar ke Tana Toraja bukanlah perjalanan yang mudah. Ada saatnya (entah di daerah mana) kami harus menempuh jalan berbukit naik turun dan berkelok-kelok. Sungguh kondisinya lebih parah dibandingkan melalui bukit Suharto di jalan antara Balikpapan-Samarinda. Entah karena supirnya yang sedikit ngebut atau memang karena jalannya, kami sempat hampir muntah sepanjang jalan. Akhirnya Pak Mario (nasabah kami) yang sudah tidak tahan karena mau muntah meminta bapak supir untuk bertukar tempat dengannya. Dan perjalanan kami menjadi lebih nyaman setelah disupiri oleh Pak Mario. Supirnya pun justru senang tinggal duduk santai di sebelah Pak Mario. Hahaha.

Dikarenakan perjalanan yang cukup lama, kami sampai di Tana Toraja malam-malam sekali. Kami menginap di hotel yang telah dipesankan Pak Mario, namanya Toraja Heritage Hotel. Agaknya hotel ini berkonsep boutique hotel. Hotel tersebut dibuat menyerupai bangunan khas Tana Toraja, dilengkapi beberapa tongkonan di area kolam renang dan area taman hotel. Begitupun dengan lobby hotel yang tidak jauh dari konsep budaya asli Tana Toraja dengan beberapa hiasan ukir-ukiran kayu, hingga kepala kerbau. Tana Toraja ini terletak di dataran tinggi, sehingga udaranya cenderung dingin terlebih di malam hari. Untuk itulah kamar-kamar di hotel ini tidak memiliki AC.  Kami pun segera beristirahat untuk menyiapkan tenaga menaiki bukit pada keesokan harinya. Ada untungnya juga punya bos laki-laki, karena saya tidak harus berbagi kamar dengannya. Hahahaha.


lobby hotel
lobby hotel

***

"Bagai kerbau dicocok hidungnya"
Tongkonan di Kete Kesu
Keesokan harinya kami bersiap menuju Enrekang (yang merupakan lokasi project) sekalian check out dari hotel. Pada saat sarapan pagi kami menemukan beberapa turis asing sedang sarapan juga. Duh, suasana pagi di Tana Toraja teduh sekali. Rasa-rasanya tempat ini cocok sekali untuk honeymoon. Sayang sekali saya datang kesini untuk urusan kerjaan. Hahaha. Berita gembiranya, kebetulan sekali tidak jauh dari hotel tempat kami menginap terdapat tempat wisata yang terkenal di Tana Toraja, yaitu Kete Kesu.  Akhirnya di dalam perjalanan menuju Enrekang, kami pun mampir sebentar ke Kete Kesu.



Tempat mayat disemayamkan sebelum dibawa ke gua

Kete Kesu adalah sebuah area upacara pemakaman termasuk area pemakaman khas Tana Toraja yang terletak di tebing-tebing di gunung batu atau gua alam. Ketika baru sampai, kami disuguhi pemandangan beberapa rumah tongkonan yang digunakan untuk upacara pemakaman. Konon upacara pemakaman disini akan menghabiskan banyak biaya yang hampir sama dengan upacara pernikahan. Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.

Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman. Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.

Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.


Dibelakang Tongkonan terdapat pemakaman tradisional yang ditempatkan di tebing-tebing. dan beberapa peti yag memuat satu keluarga. Peti-peti tersebut menggantung ditebing hanya ditahan dengan penyangga. Semakin tinggi posisi seseorang dalam kehidupan sosial, maka semakin tinggi dia ditempatkan. Sedangkan untuk warga biasa akan dimakamkan di dalam liang-liang gua.


Patene, tempat jenazah yang tidak ditaruh di tebing
Ada dua cara pemakaman di Kete Kesu, yaitu di gunung batu dan gua alam, atau makam rumah atau house grave atau dalam bahasa Toraja disebut patane. Hanya di Kete Kesu yang membangun dua macam patane. Patane dibuat dua macam, agar bisa mengakomodasi semua kepercayaan yang dianut masing-masing anggota keluarga. Mereka bisa menggunakannya, tanpa melanggar kepercayaan masing-masing demi memelihara kerukunan. Patane yang tidak menyatu ke tanah diperuntukan bagi umat Nasrani dan yang menyatu ke tanah untuk keluarga yang menganut agama Islam.

Peti mati yang berusia ratusan tahun yang memuat satu keluarga besar disebut erong. Bentuk erong laki-laki dan perempuan pun dibedakan. Erong berkepala babi dibuat sebagai penanda peti perempuan. Karena di Toraja, babi dipelihara oleh perempuan. Sedangkan, erong berkepala kerbau menujukan peti untuk laki-laki.

Sumber referensi:
  • https://id.wikipedia.org
  • https://andihardianti.wordpress.com

***

Sejauh mata memandang hanya ada bukit dan jalan 
Setelah mengunjungi Kete Kesu kami pun segera bergegas ke lokasi project. Lokasi project terletak di kabupaten Enrekang, yaitu di selatan kabupaten Tana Toraja dan semakin dekat ke arah Makassar. Project yang ingin kami lihat adalah lokasi yang sudah dipasangi fiber optik yang memanfaatkan jaringan PLN. Kebayang kan seberapa tingginya tower PLN. Dan tidak disangka lokasi yang dimaksud berada di puncak bukit yang tingginya ribuan kaki. 

Nasabah dan babeh boss "ngaso" alias istirahat dulu
Awalnya si nasabah ragu-ragu apakah saya perlu untuk ikut naik ke atas atau tidak. Mungkin kasihan karena saya perempuan, namun saya yakin saya bisa. Toh, sudah pakai sepatu kets juga. Tapi melihat tower di ujung atas sana ternyata sama seperti melihat bintang, nampak dekat di mata tapi jauh di kaki. Setelah mendaki sekian ratus meter, tower itu masih saja nampak jauh. dan semakin dekat kami ke puncak, medannya semakin terjal dan curam, bahkan tidak ada jalur untuk mendaki. Kebayang gimana rasanya jadi si tukang pasang kabel......



Mobil kami ada di ujung sanaa...dan gambar ini diambil di separuh ketinggian.
Kebayang kan seberapa tingginya kami mendaki
Di saat saya sedang semangat-semangatnya untuk terus mendaki setelah ketinggian ribuan kaki saya lewati (lebay :P), tiba-tiba nasabah memutuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan sampai ke puncak. Memang terlihat bahwa medan semakin curam dan tidak bersahabat. Bahkan kami semakin tidak menemukan jalan untuk naik. Entah bagaimana caranya orang diujung sana untuk naik. Orang di ujung puncak juga menyarankan kami untuk tidak meneruskan perjalanan. 

Pe er terberat adalah menuruni bukit. Medan yang curam dan tidak ada pohon di sekitar, menyulitkan kami untuk turun dengan posisi berdiri. Jika kami tidak bisa menjaga keseimbangan badan kami, kami bisa menggelundung ke bawah dan wassalam. Bahkan di beberapa titik saya sempat membayangkan wajah orangtua saya. Duh, kalau jatuh disini bagaimana. Mungkin nasabah kami juga melihat risiko kami jatuh jika menuruni puncak bukit dengan cara konvensional. Dia pun menemukan cara lain untuk turun, yaitu merosot !!! Memang ini cara yang kurang elegan, duh, mana bokong jadi kotor semua, tapi apa daya, daripada tewas di Enrekang. Hahaha. Untung saja saya tidak pakai celana jeans.

Di medan yang tidak terlalu curam kami beristirahat. Kebetulan terdapat pohon kelapa yang berbuah di dekat kami beristirahat. Tidak jauh dari lokasi juga ada anak buah nasabah yang tadi ada di puncak bukit. Kami pun minta ditebangkan beberapa buah kelapa untuk kemudian kami minum. Hahaha. Berasa lagi piknik.

***

Dengan latar belakang Gunung Nona
Selesai dari bukit kami pun melanjutkan perjalanan menuju Makassar untuk beristirahat di hotel di Makassar dan berencana pulang keesokan harinya. Tetapi di dalam perjalanan pulang kami merasa lapar dan memutuskan untuk mampir di warung tepi jalan. Seperti rata-rata warung di jalanan provinsi, warung itu juga memiliki ukuran yang besar dengan perabotan sederhana. Ketika menunggu pemilik warung menyiapkan makanan untuk kami, kami pun berjalan-jalan ke halaman belakang. Ternyata kami mendapati belakang warung memiliki balkon yang cukup luas dengan hamparan pemandangan yang luar biasa indah. Kami pun ramai-ramai memindahkan meja dan kursi ke balkon belakang demi menikmati pemandangan yang luar biasa indah.

Candid camera HP babeh boss
Sesampainya di Makasar sudah cukup malam. Setelah sebelumnya kami nongkrong di pantai losari, kami pun bergegas menuju hotel untuk istirahat. Tadinya kami berniat jalan-jalan lagi di Makasar keesokan harinya. Namun ternyata tiba-tiba babeh boss mendapat instruksi meeting bersama direksi keesokan paginya. Terpaksa kami pun segera terbang ke jakarta pagi-pagi sekali dengan jadwal pesawat yang direschedule. See you again, Tana Toraja....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar