Jumlah yang udah baca blog ini

Rabu, 06 April 2016

Hope to see you again, Istanbul (Part 1)

Perjalanan saya ke Turki adalah perjalanan yang tidak pernah saya bayangkan dan rencanakan sebelumnya. Namun perjalanan tersebut terjadi dengan ijin Allah ketika saya merencanakan untuk menunaikan ibadah umroh bersama kedua orangtua saya di tahun 2013.

Singkat cerita, pada saat saya remaja, orangtua saya pernah mengajak kami sekeluarga untuk berangkat umroh. Saat itu adalah umroh pertama kami, saat saya duduk di kelas 3 SMP (saat liburan akan masuk SMA). Saya yang masih remaja saat itu belum begitu paham tentang umroh, dimana umroh di jaman itu masih merupakan hal yang langka. 

Saat itu kami menggunakan travel yang kurang bonafid, yaitu travel milik teman orangtua saya yang keturunan Arab. Kebetulan ketika keberangkatan, hanya kami yang menjadi peserta travel tersebut, sehingga untuk mobilisasi antar kota di Arab kami disewakan sebuah mobil beserta supirnya. Dikarenakan tidak adanya pihak travel yang bersama kami, maka kami menjadi sedikit terlantar setiap perpindahan antar kota. Pengalaman mengecewakan ini menghantarkan kami pada keinginan untuk mengunjungi Baitullah kembali beberapa bulan kemudian dengan travel yang bonafid yang berasal dari Jakarta. Kebetulan ada saudara di Jakarta yang menguruskan semua perlengkapan umroh kami. Perjalanan umroh kedua kami lakukan saat saya duduk di kelas 1 SMA (saat liburan Ramadhan). Umroh di bulan Ramadhan memiliki kelebihan dibandingkan umroh pada bulan lainnya, dimana pahalanya hampir sama dengan haji.


Kami sangat antusias untuk menjalankan ibadah umroh yang kedua ini. Terutama karena ibadah umroh yang pertama kurang maksimal karena travelnya yang kurang bonafid. Di samping antusias untuk menjalankan ibadah umroh kembali, saya juga antusias mengunjungi Pasar Seng lagi. Ya, jamaah asal Indonesia yang menamakan begitu, Pasar Seng. Pasar Seng ini berada di sekitaran Masjidil Haram. Saat itu tahun 2002, ketika perombakan besar-besaran belum terjadi di sekitar Masjidil Haram, masih banyak terdapat hotel-hotel bintang 1 dilengkapi dengan pasar yang menjual cenderamata khas negara Arab. Pasar ini terdiri dari toko-toko yang begitu banyak, barang yang dijual pun beragam, mulai dari kebutuhan sehari-hari hingga cenderamata untuk oleh-oleh. Harga produk yang dijual di Pasar Seng ini juga cukup terjangkau, mulai dari 2 riyal. Bahkan penjaga tokonya akan berteriak sepanjang waktu ketika ada orang lewat dengan teriakan yang khas, “Riyaalen, riyaalen....” alias “2 riyal, 2 riyal......”. Hal ini bagi saya adalah hal yang menarik. Melihat dan berburu barang-barang “riyaalen” adalah hal yang menyenangkan. Dan pada saat itu niat umroh saya pun terkotori dengan niat berbelanja.

Umroh kami pertama kali tahun 2001.
Bahkan ketika kami mulai sampai di Madinah, waktu senggang saya habiskan untuk berkeliling melihat pasar dan toko terdekat. Padahal saat itu saya sedang berpuasa. Dan pada akhirnya Allah Maha Tahu niat hambanya yang sesungguhnya. Saya pun “datang bulan” tidak lama setelah sampai di Madinah karena kelelahan. Haid ini datang lebih cepat dari jadwal yang seharusnya, sehingga saya tidak mengantisipasinya dengan obat apapun. Ya, disinilah saya sadar, Allah menghukum saya. Akibat “datang bulan”, saya tidak bisa menikmati sholat taraweh di Masjid Nabawi dan hanya tidur-tiduran di kamar hotel ketika semua orang pergi ke masjid. Sungguh menyedihkan. Saya bersedih dan tersadar akan niat saya yang salah. Bahkan ketika semua jamaah memulai miqat untuk umroh pertama dari Bir Ali, saya belum dapat mengikuti umroh. Saya pun menghabiskan dengan beristighfar, sadar akan kesalahan saya dan berharap Allah memberi kebaikan bagi saya untuk dapat mengikuti umroh kedua yang akan dilaksanakan 2 hari setelah umroh pertama. Alhamdulillah saya sempat mengikuti umroh kedua meskipun dengan sedikit keraguan karena saya hanya sempat “bersih” selama ritual umroh saja. Setelah ritual selesai, saya pun “datang bulan” lagi. Alhamdulillah Allah memberi “kesempatan” bagi saya untuk melaksanakan tawaf wada’ ketika kami akan meninggalkan Mekah. Saya pun bertekad, saya harus kembali lagi kesini, entah kapan, untuk menebus perjalanan ini.

***

Waktu pun berlalu dan suatu saat saya pun bekerja di sebuah bank syariah. Bank ini memiliki ketentuan HRD yang sangat islami. Kami sebagai karyawan memiliki jatah cuti untuk umroh dan haji yang tidak akan mengurangi jatah cuti tahunan. Tetapi jatah cuti ini hanya berlaku sekali seumur hidup. Berkaitan dengan cuti ini pun juga didampingi dengan tunjangan umroh dan haji yang juga berlaku sekali seumur hidup (tunjangan umroh yang diberikan sebesar 500 USD). Jika cuti haji sudah biasa, maka yang tidak biasa adalah cuti umroh, dimana saya jarang sekali mendapatkan ada perusahaan yang menetapkannya bahkan dalam kebijakan perusahan. Waktu yang diberikan untuk cuti umroh ini adalah selama 9 hari (hal ini berdasarkan rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk umroh reguler).

Saya pun kembali teringat pada cita-cita saya untuk umroh kembali setelah 4 tahun bekerja. Saat itu saya memiliki tabungan yang cukup untuk umroh reguler 3 orang. 3 orang ? Ya, saya bermaksud mengajak ibu dan almarhum bapak saya. Saat itu saya menyampaikan niatan tersebut kepada ibu saya agar dapat disampaikan juga kepada almarhum bapak saya. Entah kenapa almarhum bapak saya seperti tidak tertarik untuk menjalankan ibadah umroh lagi. Beliau merasa ada banyak hal yang harus dilakukan disini dan belum punya waktu luang untuk pergi dalam beberapa hari. Apalagi saat itu almarhum bapak sedang menderita nyeri sendi yang tidak memungkinkan beliau berjalan jauh. Bahkan, ketika kakak saya mengajak liburan ke Singapura 1 bulan sebelumnya, liburan tersebut menjadi kurang menyenangkan karena almarhum bapak kurang dapat menikmati perjalanan karena nyeri sendinya. Setelah penolakan ini saya pun berikhtiar lagi mulai bekerja seperti biasa.

Tidak lama kemudian, sebuah broadcast message dari biro perjalanan haji dan umroh menawarkan umroh plus Turki. Harganya lebih mahal sekitar 1000 USD dibandingkan umroh reguler. Tiba-tiba saya pun terpikir untuk menawarkan paket ini pada almarhum bapak. Mungkin beliau lebih tertarik dengan paket yang ini. Tetapi di dalam kepala saya berpikir keras memikirkan selisih kekurangannya yang lumayan besar. Dan Allah menjawab masalah saya tidak lama kemudian ketika saya mendapatkan bonus tahunan kantor dengan nominal yang lumayan wow dimana dapat menutup kekurangannya. Alhamdulillah. Saya pun segera menyampaikan keinginan saya lagi kepada ibu dan bapak saya. Dan ternyata hasilnya sama, hanya ibu saya saja yang mau ikut berangkat.


Di tengah kekecewaan saya terhadap penolakan almarhum bapak untuk ikut serta, saya tetap mendaftarkan diri untuk umroh tersebut. Sedih karena maksud perjalanan ini saya ingin membahagiakan keduanya, di saat saya tidak dapat memberikan sesuatu yang berharga buat mereka. Dan alhamdulillah tidak lama sebelum penutupan pendaftaran, almarhum bapak berubah pikiran untuk ikut serta. Beliau pun rajin ikut fisioterapi agar dapat lancar menjalankan ibadah umroh dengan nyeri sendinya. Sedangkan di sisi lain saya sibuk mencari informasi tentang persewaan kursi roda di masjidil haram untuk membantu mobilitas almarhum bapak selama ibadah umroh.

***

Begitulah awal mula perjalanan kami ke Istanbul, dimana perjalanan ini terjadi tanpa perencanaan sebelumnya. Dan pada post ini saya cenderung ingin menceritakan perjalanan kami di Istanbul dibandingkan ibadah umroh kami, dikarenakan ibadah tidak untuk diumbar-umbar, dimana cukup antara saya dan Allah. Bahkan saya minimal sekali mengambil gambar ketika di tanah suci karena benar-benar ingin fokus ibadah dan alhamdulillah ibadah umroh kami berjalan sangat sangat lancar dengan begitu banyaknya bantuan. 

Saya juga ingin mengkritisi perbedaan antara umroh jaman sekarang dan umroh jaman dulu dimana terdapat kecenderungan masyarakat jaman sekarang untuk selalu selfie dimana pun, bahkan ketika sedang beribadah sekali pun. Mereka tidak segan-segan mengambil gambar ketika di depan ka’bah, seolah-olah ka’bah adalah tempat wisata yang layak untuk diambil foto bersama. Ibaratnya tangan kanan berdoa, tangan kiri selfie !! Namun kecenderungan ini tidak lepas dari perkembangan teknologi itu sendiri dimana saat ini hampir semua handphone dilengkapi oleh kamera. Hal ini berbeda dengan tahun 2002 saat saya melaksanakan ibadah umroh pertama dan kedua, saat itu handphone masih memiliki ukuran yang cukup besar dan  belum dilengkapi kamera. Pada masa itu hanya beberapa orang saja yang punya handphone. Dan ketika akan memasuki masjid, baik masjid nabawi atau masjidil haram, semua tas akan diperiksa oleh asykar atau tentara arab. Barang-barang yang tidak diperbolehkan masuk masjid adalah kamera, makanan serta minuman. Namun apa jadinya jika saat ini kamera telah menjadi satu kesatuan di dalam handphone sedangkan handphone juga berfungsi sebagai alat komunikasi yang tidak mungkin dilarang untuk dibawa masuk ke dalam masjid. Oleh karena itu sejak mulai maraknya handphone berkamera, sejak itulah marak beredar foto selfie jika sedang berada di dekat ka’bah. Sungguh disayangkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar